Zombie Pekerja Agak Terharu

Iglomontana
10 min readNov 5, 2023
Geng Magangers GPO 2023, (by mbak-mbak resto sushi)

Jadi, sewaktu lagi menjalani hari-hari normal pada umumnya. Zombie rantau ini juga commute ke kantor bersama zombie-zombie pekerja yang lain naik KRL. Karena perjalanannya 40 menit. Aku coba liat-liat instagram, buat distraksi aja. Dan sehabis scroll beberapa kali nemu sebuah postingan yang bikin stop jari telunjuk. Postingan dari @rakatadotid, 📢“LOMBA CERPEN BERHADIAH DI RAKATA.”📢

“Juara 1 = 1.000.000, periode submisi 2 Oktober — 10 November 2023. 1000–4000 kata dalam tulisan cerpennya”

“Wah, masih bisa nih. Masih tanggal 1 November. Cobain kali ya? Bentar-bentar tema cerpennya apa dulu?”

“Connection = bagaimana konteks waktu berpengaruh pada cara kita memandang dan memaknai keterhubungan.”

“Wah ini jujur banyak banget lo. Bisa koneksi tentang, bagaimana melihat pacaran 3 tahun dulu vs sekarang. Tentang koneksi dengan keluarga sebelum vs sesudah rantau. Koneksi circle teman di kuliah yang mungkin dulu banyak tapi ngga bisa jadi diri sendiri vs sekarang sedikit tapi lebih nyaman. Koneksi realita gelap sosial media dan dunia kerja lu lu gue gue, koneksi dengan hobimu dulu vs sekarang, koneksi dengan transportasi commute yang makin lama membuat bodo amat dengan dunia luar zona kita, koneksi/pandangan dengan uang dulu waktu masih serba dibayarin vs sekarang yang harus merasa bertanggung jawab bayar sendiri, koneksi dengan Tuhan dulu rajin ibadah vs sekarang yang males karena…, dan banyak banget jujur bingung mau angkat yang mana.”

“Stasiun Palmerah. Hati-hati melangkah, perhatikan celah peron. Palmerah station. Watch your step and please mind the platform gap. Degdushhh…”

Dan kemudian pemandangan, puluhan orang jogging pelan, sambil berjalan membawa tas mereka, berbaris naik tangga, ada yang sambil jalan sambil telepon, ada yang menghampiri temannya yang sudah menunggu, ada yang mampir dulu beli kopi entah itu Janji Jiwa atau Kopi Kenangan. Hingga akhirnya masing-masing kemudian, mengeluarkan kartu flazz mereka, melakukan tap out di gate KRL Berjalan menuju rutinitas dunia kerjanya yang besok pun sama. Dilakukan kembali. Sampai kapan? Entahlah, ngapain juga aku nanya-nanya ke mereka.

Pada waktu pagi, hal-hal itulah rutinitas yang aku lakukan. 40 menit di transportasi kotak sabun, berjalan 5 menit menuju kantor, dan dibawah AC sentral duduk, mantengin (melihat) laptop, entah edit video konten, atau menulis review buku di website, atau kadang live tiktok bersama teman kantor. Meskipun terkadang juga liputan lapangan. Setiap hari selasa, rabu, dan kamis, aku merasakan normalnya bekerja di dalam kotak freezer yang nggak kecil-kecil amat sih sebenarnya.

Hari yang baru dimulai. Dunia kantorku terbangun dan roda korporat mulai berputar. Aku salah satu roda gigi yang senantiasa berputar. Meskipun bisa dibilang paling kecil roda giginya dari segi jabatan, tanggung jawab pekerjaan. dan uangnya hahaha. Aku menjadi bagian dari dunia itu semenjak 3 bulan yang lalu. Bersama dengan “Bayu” dan “Nina” yang sama satu divisi di sosial media.

Mba Evi, penyelia kami para anak magang divisi sosial media, menyapaku saat aku hendak menyambungkan kabel charger laptop.

“Aldo, konten Lexie Xu sudah kamu edit kan?”

“Iya mba ini, coba sekalian dicek mba.”

“Okeh, sini coba. Aku lihat dulu ya, nanti aku kasi tahu lagi revisi atau tambahannya ya.”

“Siap, makasi mba Evi!”

Mba Evi karyawan in house yang selisih sekitar sepuluh tahun denganku, sudah kepala tiga, tapi tepatnya berapa ya kurang tau. Sungkan kalau mau tanya umur kan. Ia sudah bekerja di kantor GPO hampir lima tahun memasuki 2024 ini. Ketemu pacarnya yang sekarang sudah tiga tahun bersama juga di kantor GPO, yang beda divisi tapi. Gak boleh pacaran satu divisi soalnya di ketentuan kantor. Cuma ya, kadang pacarnya nyamperin ke kantor juga, ngajak ngobrol atau makan sore, sebelum pulang kerja.

Mba Evi juga pernah bilang waktu aku tanya “Dari 2018, lima tahun berarti udah lama juga ya mba.”

“Masih muda kalau di GPO, ada yang sudah 20 tahun Do.”

Tapi, sumpah mukanya mba Evi, masih muda banget, seperti fresh graduate. Kok bisa ya? Cuci muka pakai air dari gunung Fuji mungkin ya?

“Yak ini.., gelapin lagi videonya, kan bukunya horror. Tambahin vinyetnya lagi biar pinggir videonya gelap. Musik backsound juga jangan kekencengan, suara VO-mu kurang kedengeran. Tolong diedit lagi ya.”

“Baik mba, siap!”

Aku meraih kantong paling depan tasku, mengambil headset, menancapkannya di jack HP, dan membuka kembali aplikasi Capcut di HP. Aku harus segera menyelesaikan revisi edit kontennya. Kalau bisa sebelum pukul 12.00. Kalau kerjaan selesai sebelum makan siang kan enak ya.

Tiga bulan yang lalu di bulan Agustus, aku memang baru saja “selesai” magang di perusahaan media online di Jakarta Selatan. Dan right of the bat, setelah magang itu selesai, aku ditawari temanku Bayu yang memang sudah duluan magang di kantor GPO untuk ikutan aja. The power of orang dalam memang hirarkinya paling tinggi. Kalau dipikir-pikir sekarang, bersyukur banget aku sudah lumayan normal dan paham dalam berteman.

Padahal dulu sewaktu masih SMA, aku menganggap kerja itu ya sebatas begitu-begitu saja. Setelah lulus sekolah, kita cari kerja, dapet kerja, mungkin masuk kantor atau WFH, kecuali di hari sabtu dan minggu, masuk 905, diberi tugas sesuai jobdesc, dilakukan berulang kali, saat pulang sudah capek, dan dibayar upah atau gaji setiap akhir bulan. Dan berputar begitu terus sampai naik jabatan, sampai tua dipensiunkan, atau sampai resign atau di-PHK.

Hal normal saja. Kewajiban yang dilakukan saat kita mulai dewasa.

Tapi dulu, aku tidak pernah kepikiran. Kenapa ya ibuku betah bertahun-tahun kuat, mau, dan bisa melakukan hal yang sama, repetitif, dan sesuatu yang sebenarnya dia tidak suka. Tidak minat di bidang pekerjaan itu. Ibuku kuliah jurusan peternakan, tapi kerja di bank. Koneksi minat bidang pekerjaannya melenceng jauh bukan? Tapi mungkin jawabannya juga bermacam-macam. Setiap orang pasti berbeda jawabannya.

“Karena kalau resign mulainya darimana lagi Do? Udah kepala empat kan ibu. Bayarin sekolahmu dan adik gimana? Dan juga ibu sudah cocok dengan lingkungan kerjanya.”

“Cocok gimana? Akrab gitu ya?”

“Iya lah.., ya meskipun kadang ketemu nasabah yang semaunya atau teman kantor yang nyikut, bohong atau numpang nama saja. Tapi kadang ketemu kenalan baru yang jadi lebih dari sebatas teman kerja. Seperti Om Gram, Tante Rutty, Tante Nila, Om Jono pada sering main ke rumah bukan…? Ayah dan om Jono, juga sekarang jualan gurami bakar bareng.”

Kalau dari contoh kasus ibu, ia menemukan circle lingkungan yang nyaman. Membuatnya lebih bebas jadi dirinya sendiri. Tidak fake. Tapi, berhubung waktu semasa aku di SMA, hampir setiap kali saat jam istirahat tiba, aku seringkali kebingungan. Karena nggak punya teman dekat hahahaha. Jadi ya konsep alasan ibu, aku kurang relate.

Sampai akhirnya aku perlahan mulai pelan-pelan menemukan dan merasakan yang ibu mungkin rasa atau alami saat mencoba bekerja sendiri. Peristiwa pertama yang buat aku “ngeh”, kalau di dunia kerja nggak cuma zombie saja. Adalah saat job pertamaku, setelah lulus SMA menjadi part time waiter di Semarang. Kalau ada yang bilang pekerjaan waiter itu gampang, berarti omong doang (omdo) orangnya. Pekerjaannya perlu fisik yang baik, ketangkasan, memori, koordinasi, dan komunikasi yang baik. Karena dulu aku anaknya pendiam, awal masuk kerja, setelah jam shift selesai, ya aku juga langsung pulang. Tutup jam 11, kadang jam 12 soalnya, takut begal juga. Lalu, beberapa kali sering kena omel juga dengan manager. Karena di awal, aku sering miskom salah bawa orderan ke meja yang mana. Maklum, masih sambil menghafal nomor-nomor meja. Masih banyak nanya juga, sedangkan kalau di dunia F&B itu serba cepat dan sat set, mengganggu kalau banyak nanya.

Nah terus, ada waiter lain, sudah full time, namanya Mas Vio yang beberapa kali mau bantu aku untuk menghafal meja, bahkan bilang “kalau lupa nanti sambil nanya aku juga nggak papa.” Alur dari kitchen ke costumer, orderan gofood, diajarin juga pelan-pelan. Meskipun aku yang tolol ini baru akhirnya bisa lumayan beradaptasi di minggu kedua kerja. Baik lah intinya mas Vio ini. Beberapa kali juga, kalau sudah malem, sudah sepi, mau tutupan cafe, ia ngajak ngobrol-ngobrol sambil santai istirahat dulu sebelum pulang.

“Do, dah pernah nyoba guiness belum? Ayo nyantai, ngobrol-ngobrol sek.”

“Guiness opo mas? Bir?”

“Iyo bir hitam, tak bayarin, beli satu aja terus bagi dua ya.”

“Oke mas,..” Ternyata bir guiness memang enak sih. Pahit, tapi segar, susah lah menjelaskannya, intinya enak buat sambil ngobrol-ngobrol.

Dari ngobrol-ngebir waktu itu, aku juga tahu kalau ternyata mas Vio hobi main panahan. Karena aku belum pernah coba panahan, jadi penasaran mau cobain juga. Mas Vio justru malah “Ayo aja, biasanya sabtu, ada kayak komunitasnya gitu Do.” Dan dengan bangga sekarang, aku bisa berkata aku bisa memanah. Meskipun kalau memanah hati wanita, itu aku masih tolol. Dan juga sudah lumayan lama ngga latihan panahan lagi, karena merantau kuliah ke Tangerang.

Itu pertama kali, aku sepertinya merasakan yang dikatakan ibu waktu itu. Kalau dari bekerja, juga bisa dapet koneksi dengan teman kerja yang istilah kerennya, “genuine.”

“Kak Aldo..,” panggil Nina sembari mengayunkan pergelangan tangannya ke mulut kosongnya.

Sudah lapar sepertinya anak itu, sekilas reflekku juga kemudian melihat ke arah jam kantor dan jarum sudah berada di angka 12. Aku mengangguk kembali ke Nina. “Ayo turun. Ajak Bayu sekalian.” Kami bertiga biasanya makan siang di kantin barat yang letaknya beda gedung dengan gedung kantor GPO. Jadi jalan sebentar, sambil ngobrol-ngobrol hingga sampai di kantinnya. Entah obrolan kerjaan, kelas kuliah, cewek atau cowok yang lagi ditaksir, dan kesibukan di luar jam kantor.

“Do, kamu makan apa? Andalanmu telor kornet?” tanya Bayu sambil matanya mencari-cari pilihan makanan di gerai-gerai penjual.

“Nggak, bosen. Hari ini mau coba Fu Yung Hai. Agak mahal tapi enak kayaknya.”

“Oke gue ke soto ya.” balas Bayu yang akhirnya setelah 3 menit lebih memandangi berpikir mau makan apa. Ketemu jawabannya hahaha. Biasanya kalau di kantor GPO kalau cuacanya sedang panas, AC sentral justru semakin dingin, rasanya sudah benar-benar seperti di kulkas bagian atas. Nah, mungkin karena itu, Bayu hari ini mau makan soto. Cari yang panas-panas.

“Kak, disini ya.” teriak Nina di tengah ramai suara karyawan-karyawan lain yang sedang makan siang juga. Sambil melembai-lambai dan menunjuk ke arah meja tempatnya sudah duduk. Aku mengangguk membalas Nina, malas berteriak balik karena ramai saja kantinnya. Malu hehehe, atau mungkin nggak terdengar juga.

“Oke makasi dek, nanti diantar ke tempat adek.” ucap ibu Fu Yung Hai, yang mengelap keringatnya dan lanjut memasak. Beberapa menit berjalan, aku, Bayu, dan Nina sudah duduk perlahan menyantap makan siang kami masing-masing. Soto Bayu mengeluarkan uap panas harum masako yang lumayan kental, dan nasi kuning tempe orek Nina juga kriuk-kriuk enak juga. Tapi kuah Fu Yung Hai-nya ternyata nggak kalah lezat juga.

Bayu dan Nina sama denganku merupakan mahasiswa jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara. Nina angkatan 21, sedangkan Bayu dan aku angkatan 20. Bayu berusia dua puluh tahun, rambutnya agak mohawk, dan dia sudah lebih lama magang dulu 6 bulan di GPO sebelum aku dan Nina masuk. Jadi bisa dibilang orang-orang kantor sudah pada kenal dia, jadi filter supervisor buat masukin calon anak magang dari UMN, bahkan sampai di mak-comblangin dengan Mbak Fina, salah satu editor di kantor.

Sedangkan Nina, dia belum kepala dua, tapi tingkah laku, gaya berbicara, pemikiran, dan etika budi pekertinya sudah jauh lebih dari anak-anak atau mahasiswa seusianya, apalagi mahasiswa di kampus swasta kami. Ya bayangkan saja, masih semester 5 sudah cari magang sendiri, pulang pergi naik KRL ke kantor. Setauku jarang, mahasiswa-mahasiswa di kampus UMN yang seperti dia. Mungkin berkaitan dengan ia yang juga anak rantau dari provinsi plat kendaraan BP (Kepulauan Riau), jadi kemauan survive, sukses, mengerti dunia itu keras, dan pemikiran-pemikiran tempe yang semuanya sudah terpenuhi nggak ada sama sekali di mindset dan mentalnya.

“Kak Aldo, aku tadi udah lihat-lihat. Ini nemu paket donat 4 lusin.” kata Nina sambil menyodorkan HP-nya ke arahku.

“Kalau bagi dua, berarti 260 ribu ya Nin. Selusin itu 12 kan?” tanyaku kembali sambil merapal angka di langit-langit kepalaku.

“12 x 4.., 48 donat, orang kantor 40-an cukup si Do, harusnya..” Bayu ikut menambahkan perhitungannya, setelah otak Intel Core i5 hanya butuh 3 detik memproses perkalian daripada otak pentium 2 milikku.

“Yawes oke, 260-nya aku transfer ya Nin, pesan aja sekarang sebelum makin sore.”

“Iya kak bener, aku juga masih ada newsletter. Kak Bayu juga nanti jadi live terakhir kan?”

Bayu menjawab Nina hanya dengan anggukan dan suara heemm.., karena mulutnya masih penuh kuah Soto. Setelah menghabiskan makan siang, kami bertiga kembali ke dunia normal kami. Aku lanjut revisi edit konten, Nina mengerjakan newsletter, dan Bayu menyiapkan peralatan live Tiktok mingguan kami.

Waktu berjalan dan pesanan donat kami akhirnya sampai. Kami bertiga turun untuk mengambilnya dan setelah kembali ke kantor, segera aku menaruh kotak-kotak donat itu di meja kantor. Mba Evi yang pertama kali memandangi Nina dan aku. Sesaat kami masuk ruang kantor dengan membawa kotak-kotak donat Crispy Cremes. Matanya langsung menyorot kami berdua. Mungkin dia sudah paham, ini anak-anak magang mau ngapain nih? Mau kasih donat perpisahan buat orang-orang kantor?

Nina dan aku pun hanya bisa tersenyum ketawa cengengesan kecil ke mba Evi. Mata satu kantor juga kemudian menatap kami, karena aku dan Nina juga mengungumkan bahwa kontrak magang kami selesai hari ini. Di hari Halloween, tanggal 31 Oktober.

“Terima kasih semua, atas kesempatan magangnya, ilmu, dan pengalamannya. Ini ada donat, silahkan pada diambil ya. Abis ambil, ambil lagi dibungkus bawa pulang juga nggak papa hehehe.” ucapku singkat.

Ucapan terima kasih, mendoakan semoga sukses kuliah, karirnya, dan tetap keep in touch, tag di instagram juga bertebaran sore itu dari Mba Evi, editor, manager penerbit, dan teman-teman magang dari divisi lain. Mba Evi juga mengajak foto bersama satu tim sosmed GPO magangers. Katanya, tim magang sosmed kali ini yang paling ramai dan paling seru. Aku percaya saja sih huehehe..

Oiya hampir lupa, Mba Evi juga bilang “Nin, Do, kalau mau.., bawa pulang aja ya buku-buku yang di ruang monyet. Buat dibaca-baca kalau di kost.” Hehe siap mbaa. Aku dan Nina sudah menjarah buku-buku yang boleh dibawa pulang di ruang monyet dari bulan kedua magang…

Setelah itu semua, Live Tiktok aku, Bayu, dan Nina yang terakhir mungkin. Karena Bayu masih lanjut magang di GPO. Jadi yaa, begitu lah. Hari itu cukup mengenang buatku.

Salah satu hari dimana, aku merasa lega, happy, agak terharu, dan bersyukur.

Di akhir hari itu, seperti hari-hari biasa sebelumnya, aku pamit pulang dengan mba Evi, Mba Fina, dan editor yang masih belum pulang di kantor GPO. Menatap lama terakhir ke meja panjang kantor tempatku menghabiskan 3 bulan bersama Bayu, Nina, menjadi geng magangers sosmed GPO.

Dan kemudian tertutuplah pintu KRL, mengantar kami bertiga bersama zombie pekerja yang lain pulang ke stasiun Rawabuntu dan Cisauk. Ditemani hujan yang hanya sampai di Kebayoran dan overthinking mulai bekerja lagi.

“Ini abis kelar di GPO, cari part time dimana ya..? Oohh iya, atau coba tulis cerpen yang lomba Rekata itu aja deh.”

--

--

Iglomontana

Just a journalist college student that wanted to explore, finding experience, and helping other people.